Assalamualaikum wr.wb.
kali ini ane mau bahas tentang GALANG RAMBU ANARKI doi anaknya bang iwan fals gan. tentu agan juga udah denger lagunya kan, nah ini dia gan sedikit kisah dari almarhum.
jangan lupa ya gan bagi yang udah iso
nya atau
nya..
ini Thread pertama bgt gan, jadi ane minta maaf klo agak kurang ya gan..
Galang Rambu Anarki (lahir 1 Januari 1982 – meninggal 25 April 1997 pada
umur 15 tahun) adalah seorang gitaris Indonesia dan putra dari musikus
kenamaan Iwan Fals. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 April 1997.
Galang mengikuti jejak ayahnya terjun di bidang musik. Walaupun
demikian, musik yang ia bawakan berbeda dengan yang telah menjadi ciri
khas bang iwan. Galang kemudian menjadi gitaris grup musik Bunga dan
sempat merilis satu album perdana menjelang kematiannya tahun 1997.
Nama Galang juga dijadikan salah satu lagu Iwan Fals, berjudul Galang
Rambu Anarki pada album "Opini", yang bercerita tentang kegelisahan
orang tua menghadapi kenaikan harga-harga barang sebagai imbas dari
kenaikan harga BBM pada awal tahun 1982 yaitu pada hari kelahiran Galang
(1 Januari 1982). Nah lirik lagunya gini gan kira-kira :
Ini dia gan segelintir kisah hidup Almarhum
Galang tumbuh jadi anak cerdas. Endi Aras sering main tembak-tembakan
dengan Galang. Muhamad Ma’mun punya karakter rekaan yang sering
diceritakannya pada Galang. Namanya “Gringgrong”—seorang jagoan “kayak
Tarzan” yang bisa mengalahkan harimau, naik kuda, dan mengalahkan musuh.
Tiap kali Ma’mun datang menginap, cerita Gringgong ditagih Galang. Di
Condet hanya ada dua kamar, “Kalau saya nginep, Galang tidur sama
bapaknya,” kata Ma’mun.
Ketika beranjak remaja, Ma’mun melihat Galang badannya bagus, berbentuk.
Galang bukan tipe anak hura-hura. Kalau minta uang paling buat bayar
taksi pergi ke sekolah. “Untuk beli-beli dia nggak punya uang,” kata
Iwan. Galang juga besar tekadnya. Suatu saat Galang, yang belum bisa
menyetir mobil dan tak punya surat izin mengemudi, ingin bisa
mengendarai mobil. Solusinya? Galang mengendarai mobil sekaligus dari
Jakarta ke Pulau Bali!
Tapi kekerasan Galang suatu hari membuat Iwan angkat tangan. Dia datang
ke Ma’mun, “Mas gimana nih, Galang nggak mau sekolah lagi?”
“Terus maunya apa?”
“Embuh, main musik atau buka bengkel.”
Galang memutuskan keluar dari SMP Pembangunan Jaya di Bintaro, yang
terletak dekat rumah dan termasuk salah satu sekolah mahal di Jakarta.
Iwan sering pindah rumah dan waktu itu tinggal di Bintaro. Hingga
Leuwinanggung ia sudah pindah rumah 12 kali. Usia Galang 14 tahun dan
sedang memproduksi rekamannya yang pertama bersama kelompok Bunga. Iwan
tak bisa berbuat banyak dan membiarkan Galang putus sekolah.
Galang pernah juga kabur meninggalkan rumah. Dalam pelarian, menurut
Iwan, Galang melihat poster dan foto papanya di mana-mana. “Dia merasa
diawasi,” kata Iwan. Galang merasa tak bisa lari dan kembali ke rumah.
Suatu saat Iwan curiga. Iwan bertanya, “Lang, lu pakai ya?”
“Mau apa tahu Pa?” kata Galang, ditirukan Iwan.
Iwan menganggap dirinya sudah insyaf. Kok Galang yang memakai? Iwan
merasa Galang meniru papanya. Mula-mula rokok lalu obat. Endi Aras
mengatakan Iwan agak teledor kalau menyimpan ganja atau merokok.
Galang menerangkan dia hanya mencoba. Rasanya pusing serta teler. “Ya udah, kalau sudah tahu ya udah,” kata Iwan.
Kebetulan Galang punya pacar, seorang cewek gaul bernama Inne Febrianti,
yang juga keberatan Galang memakai obat-obatan. Inne mendorong Galang
tak memakai obat-obatan.
“Dia bukan pemakai. Dia sangat cinta pada keluarganya. Kontrol diri sangat kuat,” kata Iwan.
Kamis malam 24 April 1997 sekitar pukul 11:00 malam Galang pulang ke
rumah, setelah latihan main band. Dia makan lalu pamit pada papanya mau
tidur. Mamanya lagi tak enak badan. Iwan masih mendengar Galang
telepon-teleponan.
Subuh sekitar 4:30 Kelly Bayu Saputra, sepupu Galang yang tinggal di
sana, mau mengambil sisir di kamar Galang. Kelly memanggil Galang tapi
tak bangun. Kelly mendekati Galang dan menggoyang-goyangkan badannya.
Lemas. Kelly kaget. Dia mengetuk kamar Yos. Yos bangun dan menemukan
Galang badannya dingin. “Saya turun ke bawah, panggil Iwan,” kata Yos.
Keluarga heboh. Iwan terpukul sekali. Pagi itu saudara-saudaranya
datang. Mereka menghubungi semua kerabat dan teman. Leo Listianto, adik
Iwan, menelepon Ma’mun di Karawaci. “Saya masih tidur, antara percaya,
tidak percaya,” kata Ma’mun.
Sepuluh menit kemudian, Ma’mun ditelepon Dyah Retno Wulan, adiknya Leo,
biasa dipanggil Lala, juga memberitahu Galang meninggal. “Saya bengong,”
kata Ma’mun. Dia segera menuju Bintaro.
Fidiana menerima telepon dari Ari Ayunir. Fidiana membangunkan Iwang
Noorsaid, suaminya, “Wang, ini ada berita duka … Galang meninggal.”
Mereka agak tak percaya karena beberapa hari sebelumnya pasangan ini
bertamu ke Bintaro dan melihat Galang mondar-mandir. Mereka mencoba
telepon ke Bintaro tapi nada sibuk. Mereka menelepon Herri Buchaeri,
Endi Aras, dan beberapa rekan lain sebelum naik mobil ke Bintaro.
Endi Aras mengatakan, “Pagi-pagi aku dapat kabar. Iwang Noorsaid yang
telepon.” Endi sampai di Bintaro sekitar pukul 5:30. “Aku ikut
memandikan (jasad Galang),” kata Endi.
Ketika Iwan memandikan jasad anaknya, dia berujar berkali-kali, “Galang,
kamu sudah selesai, Papa yang belum … Lang, kamu sudah selesai, Papa
yang belum ..…” Kalimat itu diucapkan Iwan berkali-kali.
Ma’mun dirangkul Iwan. “Jagain Mas, jagain anak-anak Mas,” kata Iwan,
seakan-akan hendak mengatakan ia sendiri kurang menjaga anaknya dengan
baik.
“Yos histeris, menangis ketika saya peluk. ‘Aduh, anak saya sudah
meninggal mendahului saya,’” kata Fidiana. Iwan tak banyak bicara,
menunduk, menangis, dan hanya bilang “terima kasih” kepada tamu-tamu.
“Kepada kita dia nggak ngomong sama sekali,” kata Fidiana.
Galang dimakamkan di mana? Ada usul pemakaman Tanah Kusir dekat Bintaro.
Iwan emosional, ingin memakamkan Galang di rumahnya. Bagaimana
aturannya? Iwan pun memutuskan menelepon kyai Abdurrahman Wahid alias
Gus Dur dari Nahdlatul Ulama. Saat itu Gus Dur belum jadi presiden
Indonesia. Iwan menganggap Gus Dur “guru mengaji” yang terbuka, tempat
orang bertanya. Gus Dur mengerti hukum Islam maupun hukum pemerintahan.
Gus Dur dalam telepon menjelaskan dalam aturan Islam diperbolehkan
memakamkan jenazah di rumah. Pemakaman bergantung wasiat almarhum atau
keinginan keluarga. Tapi di Jakarta tak bisa memakamkan orang di rumah
sendiri karena keterbatasan lahan. “Di Jakarta nggak boleh … kalau Bogor
boleh.”
Kata “Bogor” itu mengingatkan Iwan pada Leuwinanggung. Keluarga pun memutuskan Galang dimakamkan di Leuwinanggung.
Menurut Harun Zakaria, seorang tetangga Iwan di Leuwinanggung, yang juga
menjaga kebun Iwan, dia dihubungi Lies Suudiyah, ibunda Iwan. “Bu Lies
datang ke sini. Dia bilang, ‘Cucunda meninggal. Tolong di sini
kuburannya,” kata Harun.
Jenazah disemayamkan dulu di masjid Bintaro. Sekitar 2.000 jamaah salat
Jumat di masjid itu ikut menyembahyangkan Galang. Banyak seniman,
tetangga, kenalan Iwan, dan Yos datang menyampaikan duka. Setiawan
Djody, W.S. Rendra, Ayu Ayunir, Jalu, Totok Tewel, Jockie Suryoprayogo,
juga tampak di sana. Spekulasi wartawan maupun pengunjung memunculkan
gosip bahwa dada Galang kelihatan biru. Galang digosipkan overdosis. Ini
merambat ke mana-mana karena tubuh Galang kurus ceking.
Orang sebenarnya tak tahu persis penyebab kematian Galang karena tak ada
otopsi terhadap jenazahnya. Kawan-kawan Iwan memilih diam. Mereka
merasa tak nyaman mengecek spekulasi overdosis kepada orangtua yang
berduka. Kresnowati pernah diberitahu Yos bahwa penyebab kematian Galang
penyakit asma. Fidiana mengatakan beberapa hari sebelum kematian, Yos
mengatakan Galang lagi sakit-sakitan. Iwan mengatakan pada saya, fisik
Galang “agak lemah” dan “Galang lemah di pencernaan.”
Namun Iwan dan Ma’mun menyangkal spekulasi overdosis. Galang memang
mencoba obat-obatan tapi tak serius. Iwan mengatakan dua bulan sebelum
meninggal, Galang “sudah bersih.” Iwan percaya anaknya punya kontrol
diri.
Menurut teman-temannya, Yos menilai petualangan Galang merupakan protes
terhadap Iwan. Galang butuh perhatian papanya tapi Iwan terlalu sibuk.
Yos di mata mereka lebih tabah menghadapi kematian Galang. Iwan lebih
terpukul dan menyesal. “Setelah Galang meninggal, dia sudah nggak
nggelek-nggelek. Salatnya sudah rajin,” kata Endi Aras.
September lalu di keheningan Leuwinanggung, saya tanyakan pada Iwan
bagaimana perasaannya sekarang, lima tahun setelah kematian Galang.
Dia menggeser posisi duduknya dan mengatakan, “Sampai sekarang masih
ngimpi, terutama zaman manis-manisnya ketika Galang masih kecil.”
Iwan mengatakan kalau bercermin pada masa-masa ketika Galang masih ada,
dia melihat kekurangan-kekurangannya sebagai suami maupun ayah.
“(Kematian Galang) membuat saya menghargai fungsi bapak, fungsi suami.
Kalau saya dulu bisa lebih bersahabat, jadi gurunya, jadi lawannya,
mungkin akan lain ceritanya.”
“Tapi ini semua nggak bisa dibalik.”
Diambil hikmahnya, Iwan bercerita bahwa kematian Galang jadi “api” buat dirinya dalam bermusik.
“Dia pilih musik, bahkan dia keluar sekolah. Dia mau menikah waktu itu.
Dia percaya musik bisa menghidupi istrinya. Masakan saya nggak berani …
rasanya di sini senep (sesak) … hoooaah … dari sini senep … apalagi
kalau kenangan-kenangan itu datang,” kata Iwan. Dia tiba-tiba berteriak,
“Hoooooooaaaaah ….”
Saya mengalihkan pandangan mata saya dari mata Iwan. Dia menelungkupkan
kedua tangannya di dada. Kami diam sejenak. Saya minta maaf karena
mengingatkannya pada kematian Galang. Iwan bilang tak apa-apa.
“Kadang-kadang kalau lagi sedih … senep. Tapi kalau lagi senang ya lupa”
Sumber:
http://aremaniatebon.blogspot.com/20...-rambu-anarki.
Pembaca yang baik selalu meninggalkan jejak..

sekian gan..
sorry ya gan kalo agak gk menarik. ini first thread ane nih..